Jakarta – Rencana pembahasan paket undang-undang politik pada 2026 menjadi momentum penting memperbaiki sistem politik Indonesia.
Pemilu 2024 menegaskan betapa mahalnya biaya politik, di mana banyak caleg menghabiskan miliaran rupiah untuk kampanye.
Salah satu penyebab utamanya adalah budaya politik beli putus, hubungan transaksional jangka pendek antara calon, tim sukses, dan pemilih.
Sistem proporsional terbuka membuat tiap calon harus membangun tim sendiri yang sifatnya sementara dan mahal.
Berbeda dengan Malaysia dan Filipina yang memiliki mesin politik permanen berbasis partai atau dinasti, politik Indonesia lebih individualistik dan pragmatis.
Situasi ini diperparah dengan keterlibatan kelompok lokal berpengaruh, bahkan premanisme politik, untuk mengamankan suara. Karena tak terinstitusionalisasi, dukungan ini rapuh dan mudah bergeser.
Untuk keluar dari lingkaran ini, dibutuhkan perubahan struktural: penerapan sistem pemilu campuran (proporsional tertutup dan distrik), efisiensi politik lokal melalui penguatan peran provinsi, serta reformasi ASN agar lebih profesional dan terintegrasi.
Revisi undang-undang politik mendatang harus menjadi langkah korektif terhadap sistem yang mahal dan tidak efisien.
Dengan reformasi mendasar, Indonesia dapat bergerak menuju politik yang lebih terinstitusi, rasional, dan berkeadilan.
(Red)







