Kuningan – Masih ada Oknum Guru yang berutal. dan kasar ke siwa. Sehingga Membuat Siswa Mogok Sekolah. ini yang terjadi RH siswa kelas 8b SMP Al Ihya Ciawigebang adukan kepada orang tuanya terkait sikap oknum guru yang telah berlaku kasar dengan mendang perutnya hingga sempat mengalami sesak napas pada saat mengikuti kegiatan kemping Pramuka sekolah yang di laksanakan pada Jumat 20 September 2024.Perkara tersebut sempat memicu emosi pihak orang tua murid sesat hingga akhirnya mendatangi pihak sekolah guna meminta pertanggung jawaban pihak sekolah.
Senin 23 September 2024.Kedatangan pihak orang tua murid di terima langsung oleh kepala sekolah setempat,dalam pertemuan kedua belah pihak membahas terkait kebenaran aduan RH atas perbuatan oknum guru yang dianggap sudah sangat keterlaluan,namun aduan RH tersebut mendapat bantahan pihak sekolah, bahwa RH hanya terdorong saja pada saat itu.
Keterangan tersebut di utarakan pihak orang tua murid.jumat 27 September 2024.
Ikah Akikah selaku orang tua murid kepada kabarsbi.com,menerangkan kondisi RH saat ini,paska kejadian yang pernah dialaminya, bahwa sejak hari Selasa 24 September 2024 Sampai hari ini Jumat RH sudah tidak mau lagi untuk melanjutkan. sekolah di SMP Al Ihya ciawigebang,karena ia sudah tidak merasa nyaman lagi,dan meminta kepada orang tua untuk pindah ke sekolah lain.Ikah dan keluarga sangat prihatin atas kondisi mental/psikis anaknya saat ini,
“empat hari sudah RH tidak mau masuk sekolah, sejak selasa tanggal 24 September sampai Jumat,semua pihak keluarga sudah berupaya memberikan nasihat,pandangan dan membujuk RH untuk tetap bersekolah di sekolahnya saat ini,namun semua upaya itu tidak dapat merubah keinginan RH untuk keluar dari lingkungan SMP Al Ah Ihya,”ungkap Ikah akikah
RH mengatakan bahwa ia selalu di bully oleh teman – teman kelas 7 dan 8, keterangan RH membuat pihak keluarga bisa memahami dan merasakan apa yang RH alami saat ini,belum usainya trauma karena perlakuan kasar yang dilakukan pihak oknum guru saat kegiatan kemping Pramuka,ditambah dengan perlakuan teman – teman yang sudah membuatnya tidak nyaman berada bersama dengan yang di lingkungan sekolah.
“ya mau bagaimana lagi kalau anaknya ( RH.red) menuntut seperti itu,kami pihak keluarga hanya bisa berpasrah mengikuti kemauan anak,namun kenapa pihak sekolah sperti tidak ada perhatian terhadap kondisi anaknya saat ini,
sudah empat hari tidak masuk sekolah baru hari ini ada pihak sekolah yang datang menemui RH untuk menanyakan kabar RH dan membujuknya untuk tetap bersekolah di SMP Al Ihya dengan mengatakan RH kan anak cerdas selalu rangking satu kenapa mau pindah,namun RH tetap pada keinginannya untuk pindah,”terang Ikah Akikah
Menambahkan Ikah Akikah terkait kedatangan Devi wali kelas RH,pihak sekolah pun sempat memastikan apakah RH masih akan melanjutkan belajar di sekolahnya atau benar akan pindak ke sekolah lain,
pihak SMP Al Ihya menyarankan untuk meminta surat ke sekolah yang tuju,dan setelah itu suratnya di sampaikan ke SMP AL Ihya.”tandasnya
Kondisi tersebut di singgung oleh DADANSudrajat selaku kepala biro (Kabiro) SBI kabupaten Kuningan,menyimpulkan dari keinginan RH yang terkesan memaksa kepada pihak orang tua untuk pindah sekolah,patut diduga kondisi mental/psikis RH saat ini sedang labil mungkin karena terdampak dari dugaan kekerasan/perundungan/bullying yang telah di alaminya,
diharapkan pihak dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten Kuningan diminta dengan segera untuk menyikapi kasus tersebut,dengan memberikan solusi yang terbaik untuk kebaikan dunia pendidikan kabupaten Kuningan.Sebelum kasusnya kami laporkan kepada pihak penegak hukum agar dapat di tindak sesuai hukum yang berlaku,
berdasarkan Undang-Undang Perlindungan anak pasal 1 ayat (12) menyatakan hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Undang-undang perlindungan anak berdasarkan pasal 54 ayat (1) yang menyatakan bahwa anak dalam lingkungan satuan Pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, Psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang di lakukan oleh pendidik,Tenaga pendidik, sesama peserta didik atau pihak lain.
Menurut pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan anak, Pemerintah dan pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama,ras,golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan Bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental, untuk menjamin pemenuhan hak anak tersebut, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2022 Tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan anak.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi.
Peraturan Presiden Nomor 101 tahun 2022 dan Permendikbud nomor 46 Tahun 2023 menyatakan bahwa perundungan dan/atau bullying serta tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan di lingkungan sekolah harus di hapuskan.
Seorang anak yang menjadi korban kekerasan berdampak akan mengalami depresi dan kecemasan mental,maka dari itu seorang anak wajib mendapatkan Perlindungan Kesehatan
berdasarkan Pasal 4 Permenkes Nomor 25 Tahun 2014, serta Berdasarkan Pasal 59A Huruf B.Anak korban kekerasan psikis wajib mendapatkan pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai dengan pemulihan.
Adapun Aspek Pidana dan Perdata bagi Pelaku bullying berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014,
aspek pidananya yaitu pelaku pembullyan dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak 27 juta Rupiah,
selain itu UU perlindungan anak memiliki aspek perdata yaitu di berikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materiil/immaterial terhadap pelaku bullying, hal ini sebagaimana di atur dalam pasal 71 D ayat (1) UU Perlindungan anak,
atau secara umum bisa mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku bullying atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata.
Dasar hukum perundungan dan/atau bullying.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan anak.
Hak korban bullying, berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi.
Hal ini juga sudah jelas di atur dalam Undang- Undang perlindungan anak berdasarkan pasal 54 ayat (1) yang menyatakan bahwa anak dalam lingkungan satuan Pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, Psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang di lakukan oleh pendidik,tenaga pendidik, sesama peserta didik atau pihak lain,
Seorang anak yang menjadi korban bullying berdampak akan mengalami depresi dan kecemasan mental, maka dari itu seorang anak wajib mendapatkan perlindungan kesehatan berdasarkan Pasal 4 Permenkes Nomor 25 Tahun 2014, serta berdasarkan Pasal 59A Huruf B Anak,korban kekerasan psikis wajib mendapatkan pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai dengan pemulihan.
Aspek perdata dan pidana bagi pelaku bullying yaitu,
1.berdasarkan pasal 71D ayat (1) UU Perlindungan anak aspek perdata nya yaitu di berikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materiil/immaterial terhadap pelaku bullying,
2.secara umum bisa mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku bullying atas dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata,
Aspek pidana bagi pelaku bullying yaitu, berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, aspek pidana nya yaitu pelaku pembullyan dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling hanya 27 juta Rupiah KUHPerdata.
Berdasarkan pasal 69 ayat (2) jo pasal 82 ayat (1) UU SPPA, jika anak belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan seperti pengembalian kepada orang tua/wali,penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti Pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
Akan tetapi apabila pelaku bullying tersebut adalah anak di bawah umur.maka perlu diperhatikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU SPPA jo pasal 1 ayat (3) Per kapolri Nomor 8 Tahun 2021 menurut pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan anak jo pasal 20 UU Nomor 14 Tahun 2005,
Pemerintah dan pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya dan Bahasa, status hukum, urutan kelahiran,dan kondisi fisik dan/atau mental,
untuk menjamin pemenuhan hak anak tersebut, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.
Apabila seorang Guru melanggar kewajiban tersebut.
Maka terdapat ancaman sanksi administratif berdasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005,yaitu sebagai berikut:
1.Guru yang di angkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 20,dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang- undangan,
2.Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a.Teguran. b.Peringatan tertulis. c. Penundaan pemberian hak guru. d.Penurunan Pangkat. e.Pemberhentian dengan hormat. dan f. Pemberhentian tidak dengan hormat
Bahwa berdasarkan Pasal 14 Permendikbud Nomor 48 Tahun 2020.Pegawai yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi moral berupa:
1. Pernyataan permohonan maaf yang di tuangkan dalam surat pernyataan permohonan maag; dan/atau
2. Pernyataan penyesalan yang di tuangkan dalam surat pernyataan penyesalan.
Sanksi hukum bagi guru berdasarkan Pasal 76A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang
memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosial.
Apabila ada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 76A UU 35/2014, maka pelakunya diancam dengan pidana sesuai Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100,- juta.
Selain itu aspek hukum perdata yaitu dengan mengajukan gugatan terhadap oknum guru yang melakukan tindakan diskriminasi atas dasar perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum.Yang membawa kerugian kepada orang lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Diversi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU SPPA menjelaskan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Berdasarkan Pasal 6 UU SPPA,Diversi bertujuan:(a).Mencapai perdamaian antara korban dan anak,
(b).Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan.
(c).Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan.
(d).Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi.
(e).Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak,diversi adalah amanat Undang-Undang SPPA, berdasarkan pasal 7 UU SPPA aparat penegak hukum wajib melaksanakan diversi.
Apabila tidak berhasil dalam tingkat penyidikan, jaksa wajib mengadakan diversi.
Jika tidak berhasil dalam proses tuntutan.Hakim wajib mengadakan diversi,dan jika masih belum berhasil juga, maka berlanjut ke proses pidana. Berdasarkan Pasal 33 ayat (4)Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015.
Apabila dalam hal dikehendaki oleh anak dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan musyawarah diversi dapat melibatkan masyarakat yang terdiri atas:
Tokoh agama, guru,tokoh masyarakat, pendamping dan/atau advokat atau pemberi bantuan hukum.
Berdasarkan Pasal 96 UU SPPA, aparat penegak hukum (APH) yang tidak melaksanakan diversi di pidana dengan pidana penjara 2 tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”tandasnya
RILIS ALEX NURDIANSYAH
Jack